Lingkunganku yang Terabaikan

Posted by Si Kancil Label: ,

Harum embun dan sapaan mentari t'lah menggugah ragaku untuk beranjak dari lahan mimpi. Dengan malas, kubentangkan kedua lenganku lebar-lebar membuka helaian tirai yang menutupi serpihan cahaya yang berhamburan menyambut datangnya sang pagi. Kuhirup dalam-dalam udara pagi, "Tak sejernih dulu", gumamku saat hidungku mengecap titik udara yang menerobos hingga pangkal hidungku. Sejenak aku termangu di atas istana tidurku.
"Tok tok tok!" ketukan itu berasal dari pintu kamarku yang lalu kubuka. Ternyata Bi Inah mengantarkan sepucuk surat dari seorang sahabat penaku nun jauh di Jakarta. Kubuka amplop pembungkus surat itu, dan kutarik nafas panjang lalu aku mulai membaca dalam diam.


"Sahabat, masih ingatkah dengan sahabat penamu ini? Yah meski sulit untuk mengingat satu sama lain, tapi kau selalu ada dalam lapang imajinasiku.
Sahabat, dalam surat ini aku menuangkan segala isi hati yang membludak ingin tercurah. Kuharap kau menikmati rangkai kata curahan hatiku.

Kala aku terjaga dalam kebisingan pagi, kicau burung tak lagi seramai dulu, tak lagi ulet menemani pagiku, tentu saja toh rumah mereka t'lah dengan rakusnya kita rampas. Ya, kita, manusia! Dengan lahap kita meraup segala sisi bumi, seolah hanya kitalah yang membutuhkan bumi, membutuhkan kandungan yang terjaga di dalam lapisan bumi. Dengan giat kita mengganti segala hijau dengan tumpukan batu semen yang tinggi menjulang, hanya untuk kepuasan sosok-sosok berdasi yang berlagak bak penguasa.



Ada ingatan dalam lekukan otakku, ingatan miris tentang lingkunganku. Ingatan tentang kepulan nafas si kotak beroda yang memenuhi cakrawala dan menemani senyapnya malam. Tahukah kau, bintang pun enggan menyapa di kala malam, hanya gerombolan hitam yang mengambang menari-nari di tepi malam, menutupi cantiknya bulan dan indahnya bintang. Aku ingat tentang carik-carik plastik yang tersapu ricuhnya angin, tergeletak tak daya menggapai tong sampah. Itu tak lain hanyalah ulah jemari nakal yang melambai melepas genggaman pada carik plastik di mana jemari itu ingin melepasnya. Mata kita seolah buta, atau pura-pura buta dan tak berdaya membedakan serta menangkap kotak berwujud tong sampah. Atau mata kita sudah malas untuk menjamah tulisan yang bercerita "Tempat Sampah". Ada ingatan lain menyeruak di sela-sela memori, ingatan tentang sungai-sungai yang mengalir ke hulu. Mata kita bukanlah buta, pasang mata kita masih bisa melihat hijaunya air sungai, bahkan coklat pekat sepekat susu coklat. Tak jarang juga kita temukan genangan-genangan tak semestinya, sampah plastik misalnya. Mungkin kita terlalu naif untuk menjaga limpahan air, terlalu baik memberi sungai dengan sisa-sisa plastik yang terlepas dan meliuk-liuk jatuh ke sungai. Padahal sungai senang dengan kejernihannya, bukanlah warna coklat ataupun hijau yang diinginkannya, bukan juga plastik yang diharapkannya. Haruskah kita berdalih hal itu balasan kita atas apa yang air berikan kepada kita? Sungguh pertanyaan yang tak butuh sebuah jawaban teori.

Aku terhanyut dalam lamunanku, merenung benar-benar merenung. Aku teringat akan segala bencana yang membuat kita merana. Bencana akibat kemarahan alam seisinya, dari banjir, angin puting beliung, muntahan gunung berapi sampai tsunami sudah pernah kita lihat bahkan rasakan. Tidakkah hal itu membuat kita tergugah, sekeras batu kah hati kita yang tak luluh dengan peringatan Sang Pencipta. Masih kurangkah segala apa yang kita petik dari kerakusan yang kita tanam. Atau lupakah kita akan tugas kita sebagai khalifah muka bumi. Sungguh miris keadaan bumi kita.

Sahabat, kuharap kau tak termasuk ke dalam lingkup manusia yang kusebutkan di atas. Balaslah surat ini selagi senggang, aku menunggu ucapan diammu dalam balasan suratku.


Jakarta, 25 Februari 2011
Sahabatmu,
Izza"

Setetes air mata menuruni pipiku tanpa bisa kubendung lagi, aku berpikir, Izza benar, dunia ini sudah renta, hanya menunggu waktu akhir yang tak lama lagi. Kita pun hanya bisa pasrah dengan kemarahan sang alam dan Penciptanya. Kuselipkan surat itu ke dalam tumpukan suratnya yang lain dan aku bergegas pergi mandi.

TES LOGIKA (CASE RINGAN)

Posted by Si Kancil Label:

Seseorang telah menemukan mayat
nahkoda A dan anaknya yakni B. Ayah
tertembak di dada dan si anak di
punggungnya. Mungkin keduanya mati
pada saat itu juga.
Senapan bila di tembakkan dari jarak
dekat seperti misalnya bila seseorang
menembak dirinya sendiri akan
meninggalkan bekas-bekas hitam pada
kulit atau pakaian, bahkan bisa
membakar.
Tembakan yang dilepaskan dari jarak
jauh tidak akan meninggalkan bekas
demikian. Kedua mayat itu ditemukan
di tengah ruangan yang dipergunakan
untuk latihan membidik. Lantainya
tertutup dengan pasir lembap sehingga
setiap jejak tampak nyata dan jelas.
Dalam ruangan tersebut hanya tampak
dua pasang jejak kaki. Apabila ada
orang ketiga di luar ruangan itu, maka
akan mungkinkah baginya untuk
menembak ke segala jurusan dalam
ruangan itu. Tetapi lantai ruangan itu
tak memungkinkan tampaknya bekas
jejak kaki.
Di bawah mayat nahkoda A ditemukan
sebuah senapan, pada B tidak terdapat
senapan. Bagian-bagian yang ditembus
peluru pada pakaian kedua mayat itu
menunjukkan bekas-bekas hitam dan
kainnya agak hangus. Nahkoda A
sangat mencintai anaknya dan ia
sendiri lebih rela mati daripada sengaja
membunuh anaknya, meskipun untuk
membela diri.
Tetapi, sebagian orang menduga
bahwa si B diam-diam memusuhi
ayahnya dan berharap akan mewarisi
kekayaan bila ayahnya meninggal
dunia.
Pertanyaannya : apa yang
menyebabkan kematian si B?